Baku mutu air limbah industri telah tercantum pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5 Tahun 2014. Secara umum, parameter pH, BOD, COD dan TSS merupakan parameter wajib ukur untuk air limbah. Pada industri petrokimia, pupuk maupun pembuatan reagen kimia lainnya, empat parameter tersebut termasuk ke dalam kategori wajib ukur. Meski banyak industri yang mengkorelasikan antara nilai BOD, COD dan TSS. Namun perlu diketahui bahwa ketiga parameter tersebut tetap harus diukur nilainya secara mandiri. Hal ini tercantum pada American Public Health Associations tepatnya pada Nomor Metode 5220, 5210 dan 2540. Parameter lainnya yang perlu diuji pada air limbah industri kimia adalah minyak dan lemak, fenol, kromium (chromium), tembaga (copper), seng (zinc) dan nikel (nickel). Mari kita bahas masing - masing parameter tersebut dalam artikel ini.
Pemerintah telah menetapkan aturan cara pengolahan dan pembuangan air limbah industri yang benar. Air limbah tersebut pastinya harus diproses sedemikian rupa hingga menghasilkan air limbah yang memiliki toksisitas serendah mungkin terhadap lingkungan. Kualitas air limbah ditentukan dengan mengukur setiap parameter wajib ukur sehingga dapat ditarik kesimpulan apakah air limbah layak untuk dilepaskan ke lingkungan atau tidak. Adapun parameter baku mutu dan nilai ambang batas dari masing - masing parameter untuk air limbah industri petrokimia berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5 Tahun 2014 ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Baku Mutu Air Limbah Industri Kimia
Parameter | Nilai Baku Mutu |
pH | pH 6 - 9 |
BOD5 | Maks. 100 mg/L BOD |
COD | Maks. 200 mg/L COD |
TSS | Maks. 150 mg/L TSS |
Minyak dan Lemak (Oil and Grease) | Maks. 15 mg/L |
Kromium (Cr) | Maks. 1 mg/L |
Fenol | Maks. 1 mg/L |
Seng (Zinc) | Maks. 10 mg/L |
Tembaga (Cu) | Maks. 3 mg/L |
Nickel (Ni) | Maks. 0.5 mg/L |
Dari Tabel 1 perlu dicatat bahwa nilai setiap parameter air limbah harus dibawah dari nilai yang tercantum pada baku mutu tersebut. Jika nilai tidak sesuai, maka air limbah harus melalui proses treatment kembali hingga dihasilkan angka yang sesuai dengan baku mutu yang berlaku. Untuk mengefisienkan dan mengoptimalkan proses yang terjadi, diperlukan pemantauan rutin secara lapangan oleh operator. Pemantauan ini dapat dilakukan baik secara laboratorium, lapangan ataupun secara online.
1. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman merupakan garda terdepan untuk menilai kualitas suatu air limbah. Berdasarkan American Public Health Associations Nomor Metode 4500 - H yang diadaptasi oleh Standar Nasional Indonesia Nomor 06 - 6989 bagian 11 Tahun 2004, pengukuran pH dapat dilakukan secara elektrometri, yakni dengan menggunakan alat pH meter. Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan tidak akuratnya pH yang terukur, diantaranya suhu, teknik sampling ataupun cara pengukuran yang diterapkan, jenis elektroda dan pH meter yang digunakan, serta kondisi alat.
Secara prinsip, metode elektrometri mengukur nilai pH diukur dengan mengukur aktivitas ion hidrogen pada sampel yang memunculkan nilai potensial. Nilai potensial yang terukur ini nantinya akan dibandingkan dengan nilai potensial referensi dari elektroda referensi. Nantinya kedua nilai ini akan dikalkulasi oleh sistem sehingga nilai pH sampel muncul pada display alat. Namun aktivitas ion dalam sampel dipengaruhi oleh suhu sehingga analis direkomendasikan untuk mengukur pH secara lapangan selain pengujian laboratorium. Pengukuran secara lapangan dapat menggunakan pH meter portable maupun alat pH analyzer online yang terdiri dari sensor pH dan controller untuk monitoring proses. Disamping itu, penggunaan elektroda yang disertai dengan sensor suhu sangat direkomendasikan agar nilai pH yang terbaca adalah nilai aktual.
Gambar 1. Jenis pH Meter (a) Tipe Benchtop, (b) Tipe Portable dan (c) Online pH Analyzer
2. Biochmecial Oxygen Demand (BOD)
Biochemical oxygen demand (BOD) atau kebutuhan oksigen biokimia (KOB) diukur untuk mengetahui seberapa banyak daya konsumsi oksigen terlarut dalam air yang diperlukan untuk mengoksidasi polutan dalam air limbah melalui jalur mikroorganisme. Beberapa metode direkomendasikan dalam APHA 5210 untuk mengukur parameter ini, seperti metode iodometri modifikasi azida, metode dilusi dan metode respirometrik. Beberapa metode ini juga diadaptasi ke SNI 6989 bagian 72 tahun 2009.
Setiap uji BOD membutuhkan waktu inkubasi pada suhu 20oC paling sedikitnya selama 5 hari dalam inkubator dan disebut sebagai BOD5. Metode Iodometri modifikasi azida dan metode dilusi memiliki prinsip kerja yang hampir sama, yakni dengan mengukur kadar oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO) pada hari 0 (sebelum inkubasi) dan pada hari ke - 5 (setelah proses inkubasi). Nilai - nilai ini kemudian dihitung dengan menggunakan rumus. Yang berbeda dari keduanya adalah kebutuhan alat ukurnya yang mana metode iodometri modifikasi azida dilakukan secara titrimetri dengan menggunakan buret, sedangkan metode dilusi dilakukan secara elektrometri menggunakan alat DO meter.
Berbeda dari kedua metode tersebut, metode respirometrik memanfaat proses respirasi dari mikroorganisme aerob yang diberikan nutrien dengan jangka waktu tertentu. Metode ini dilakukan dengan mengukur oksigen terlarut (DO) yang dikonsumsi oleh mikroorganisme melalui pengukuran tekanan udara dalam botol uji. Instrumen yang digunakan adalah BOD sensor yang langsung mengukur nilai BOD tanpa adanya perhitungan yang rumit. Di lain sisi, analis juga melakukan pemantauan nilai BOD yang digambarkan melalui kurva. Bahkan sensor BOD saat ini telah dibekali fitur data logger yang memudahkan penyimpanan serta report data.
Gambar 2. Alat Uji BOD (a) Respirometrik Sensor, (b) DO meter dan (c) Metode Titrimetri
3. Chemical Oxygen Demand (COD)
Kebutuhan oksigen kimiawi (KOK) atau yang disebut juga sebagai chemical oxygen demand (COD) diuji dengan melalui 2 tahap yakni tahap destruksi dan tahap pengukuran. Tercantum dalam APHA 5220, tahap destruksi dilakukan dengan mereaksikan reagen uji COD dengan sampel pada suhu 150oC selama 120 menit (2 jam). Setelah sampel dingin, sampel dapat diuji secara titrimetri menggunakan buret atau titrator otomatis maupun secara spektrofotometri dengan menggunakan alat kolorimeter atau spektrofotometer.
Untuk melakukan uji secara spektrofotometri, analis perlu mengetahui estimasi nilai COD dari sampel yang dianalisa. Berdasarkan SNI 6989 Bagian 2 Tahun 2019, jika estimasi nilai COD lebih kecil atau sama dengan 90 mg/L, maka uji dilakukan pada panjang gelombang 420 nm. Jika nilai diatas 90 mg/L, maka uji dilakukan pada panjang gelombang 600 nm. Mengapa berbeda? Hal ini karena pada sampel dengan nilai COD diatas 90 mg/L, Cr6+ pada reagen telah banyak yang tereduksi menjadi Cr3+ sehingga dilakukan uji pada Cr3+ yang setara dengan nilai COD sampel, sedangkan yang diukur pada sampel dengan nilai COD dibawah 90 mg/L adalah sisa Cr6+ yang tidak bereaksi. Dalam hal ini analis perlu cermat dalam memilih reagen COD yang tepat.
Gambar 3. Kebutuhan Uji COD
4. Total Padatan Tersuspensi (Total Suspended Solids/ TSS)
Padatan tersuspensi atau total suspended solids (TSS) merupakan parameter penting dalam penentuan kualitas air limbah. Tingginya TSS menyebabkan tumpukan lumpur yang dapat membentuk lapisan tipis pada permukaan air atau bahkan jika terlalu tinggi maka padatan tersuspensi ini dapat menumpuk pada badan air yang mengakibatkan rusaknya ekosistem akuatik. Dalam Standard for The Examination of Water and Wastewater Treatments, tepatnya pada nomor metode 2540 bagian “Solids”, tercantum bahwa metode gravimetri dapat digunakan untuk mengukur nilai TSS secara akurat. Uji TSS ini diilustrasikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Ilustrasi uji TSS secara gravimetri
Uji gravimetri sangatlah relevan untuk menentukan nilai TSS suatu air limbah dengan akurat. Namun banyak analis yang mengeluhkan durasi pengujian dengan kondisi sampel yang cukup banyak. Dengan berkembangnya teknologi, saat ini terdapat opsi alternatif untuk menentukan nilai TSS air limbah dengan cepat, yakni dengan menggunakan metode spektrofotometri. Metode ini tergolong sangat cepat karena hanya membutuhkan waktu +/- 5 menit jika dibandingkan dengan metode gravimetri yang membutuhkan waktu +/- 180 menit. Pengukurannya dilakukan dengan menghaluskan padatan - padatan tersuspensi pada sampel dan mengukurnya dengan alat spektrofotometer pada panjang gelombang 810 nm.
Penentuan TSS ini dapat dilakukan baik secara laboratorium maupun lapangan. Jika dilakukan di laboratorium, analis dapat menggunakan alat spektrofotometer ataupun kolorimeter. Jika dilakukan di lapangan (on site), maka operator dapat menggunakan alat TSS portable. Adapun alat online yang terdiri dari controller dan sensor TSS juga dapat digunakan guna memantau nilai TSS pada air limbah secara real time. Ketiga alat ini dinilai cukup relevan digunakan untuk mengestimasikan nilai TSS pada air limbah.
Gambar 5. Tampilan Alat TSS Portable
5. Minyak dan Lemak (Oil and Grease)
Minyak dan lemak memiliki densitas yang lebih rendah dari air sehingga keberadaannya dapat menutupi permukaan air, yang mengakibatkan terhalangnya cahaya matahari untuk menembus badan air dan menghalangi oksigen di udara untuk larut dalam air. Selain itu, minyak dan lemak justru juga berpotensi racun bagi makhluk akuatik serta menyumbat saluran - saluran air. Oleh karena itu pemantauan kadarnya perlu dilakukan untuk memastikan bahwa proses penghilangan minyak dan lemak telah efisien.
Berdasarkan APHA 5520, salah satu metode yang dapat digunakan untuk menentukan kadar minyak dan lemak adalah metode ekstraksi - gravimetri. Metode ini dilakukan dengan mengekstraksi minyak dan lemak dari air limbah dengan menggunakan alat ekstraktor, kemudian hasil ekstraksi dikeringkan pada suhu 105oC dalam oven. Hasil residu yang telah kering kemudian didinginkan dalam desikator dan jika massa residu telah stabil, dilanjutkan dengan penimbangan bobot pada neraca analitik. Hasil kemudian dihitung dengan menggunakan rumus.
Gambar 6. Ilustrasi Tahapan Uji Lemak dan Minyak pada Air Limbah
6. Parameter Fenol dan Ion Logam
Seperti yang tertera pada Tabel 1, fenol dan ion - ion logam seperti kromium, seng, tembaga dan nikel. Mengapa? baik fenol maupun ion logam bersifat racun pada lingkungan jika kadarnya melebihi ambang batas. Semua ion logam dan fenol ini dapat ditentukan kadarnya dengan menggunakan alat spektrofotometer cahaya tampak yang dirangkum pada Tabel 2.
Tabel 2. Cara Uji Ion - Ion Logam pada Baku Mutu Air Limbah Industri Kimia
Parameter | Prinsip Uji | Nomor Metode |
Fenol | fenol dalam air limbah perlu diekstraksi terlebih dahulu, kemudian direaksikan dengan aminoantripirin dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 460 nm untuk kadar dibawah 0.1 mg/L dan pada 500 nm jika kadarnya diatas 0.1 mg/L | SNI 06.6989.21 Tahun 2004 |
Kromium (Cr) | Semua bentuk valensi kromium akan dioksidasi menjadi kromium heksavalen yang kemudian direaksikan dengan 1,5-Diphenylcarbohydrazide yang diukur pada panjang gelombang 540 nm. | Hach Method 8024 |
Tembaga (Cu) | Zat tembaga dalam air limbag direaksikan dengan garam dari asam bicinchoninic dan diuji pada panjang gelombang 560 nm. | Hach Method 8506 |
Seng (Zn) | Zat seng dalam sampel akan direaksikan dengan 2-carboxy-2'-hydroxy-5'-sulfoformazyl benzene (zincon) dengan adanya penambahan sikloheksanon. Jika sampel mengandung zat seng, maka akan berubah warna menjadi biru. larutan kemudian diuji pada panjang gelombang 620 nm. | Hach Method 8009 |
Nikel (Ni) | Nikel dalam sampel akan bereaksi dengan 1-(2-Pyridylazo)-2-Naphthol dengan menggunakan metode PAN. Sampel kemudian diuji pada panjang gelombang 560 nm. | Hach Method 8150 |
Dari seluruh parameter wajib pada baku mutu air limbah industri kimia yang telah dijelaskan, dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap parameter dapat diuji dengan berbagai opsi metode. Namun pemilihan metode ini haruslah mempertimbangkan efisiensi waktu dan karakteristik sampel.
Referensi
American Public Health Associations. 2008. 21st Edition : Standard Methods For The Examination of Water and Wastewater Treatment
Badan Standardisasi Nasional. 2019. Standar Nasional Indonesia Nomor 6989 Bagian 2 Tahun 2019 tentang “Air dan Air Limbah - Bagian 2 : Cara Uji Kebutuhan Oksigen Kimiawi (Chemical Oxygen Demand) dengan refluks tertutup secara spektrofotometri
Badan Standardisasi Nasional. 2009. Standar Nasional Indonesia Nomor 6989 Bagian 2 Tahun 2009 tentang “Air dan Air Limbah - Bagian 72 : Cara Uji Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand/ BOD)
Badan Standardisasi Nasional. 2019. Standar Nasional Indonesia Nomor 6989 Bagian 3 Tahun 2019 tentang “Air dan Air Limbah - Bagian 3 : Cara Uji Padatan Tersuspensi Total (Total Suspended Solids/TSS)
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia Nomor 06 - 6989 Bagian 10 Tahun 2009 tentang “Air dan Air Limbah - Bagian 10 : Cara Uji Minyak dan Lemak secara Gravimetri”
Badan Standardisasi Nasional. 2004. Standar Nasional Indonesia Nomor 06 - 6989 Bagian 11 Tahun 2009 tentang “Air dan Air Limbah - Bagian 11 : Cara Uji Derajat Keasaman (pH) dengan Menggunakan Alat pH Meter
Badan Standardisasi Nasional. 2008. Standar Nasional Indonesia Nomor 6989 Bagian 57 Tahun 2009 tentang “Air dan Air Limbah - Bagian 57 : Metode Pengambilan Contoh Air Permukaan”
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2014. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 5 Tahun 2014 tentang “Baku Mutu Air Limbah”
Ulvi, Syarifah Indana dan Tisna Harmawan. 2022. Analisis Kandungan Minyak dan Lemak pada Limbah Outlet Pabrik Kelapa Sawit di Aceh Tamiang, Quimica: Jurnal Kimia Sains dan Terapan, Volume 4, Nomor 1