Serat pangan (dietary fiber) merupakan parameter yang wajib dicantumkan pada setiap label gizi produk. Penentuan terhadap serat pangan pada produk pun dilakukan guna untuk memperoleh nilai pastinya. Banyak metode yang dapat digunakan untuk menentukan kadar serat pangan pada produk makanan. Dua metode yang paling umum digunakan yakni metode gravimetri - enzimatik dan metode destruktif. Apa perbedaan dari keduanya? Simak artikel berikut untuk mengetahui lebih lanjut.
Serat pangan adalah bagian tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan dicerna dalam pencernaan melalui proses fermentasi. Secara fungsi, serat pangan berperan dalam menjaga bobot tubuh, melancarkan pembuangan sisa - sisa makanan dalam tubuh, mengurangi durasi transit makanan dalam sistem pencernaan, membantu mengontrol kadar kolesterol dengan memperlambat penyerapan LDL, menstabilkan pH dalam organ pencernaan, mengurangi resiko penyakit jantung ataupun diabetes hingga kanker usus, memperlambat penyerapan gula sehingga meninggalkan kesan kenyang yang lebih lama dan membantu mengatur tekanan darah. Serat pangan pun diklasifikasikan menurut struktur, fungsi dan daya larutnya, yakni lignin, selulosa, hemiselulosa, pektin dan karet. Karena segudang manfaat yang dikandungnya ini, banyak pelaku industri yang menggunakannya sehingga perkembangannya pun sangat pesat.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor 4270 Tahun 2021 dan Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 34 Tahun 2019 bahwa kadar minimum serat pangan pada Serbuk Minuman Serealia adalah 3% fraksi massa, dengan kandungan serealia tidak kurang dari 25%. Kadar serat pangan pun nilainya beragam bergantung pada jenis sampelnya. Beberapa jenis sampel pangan lain beserta dengan nilai serat pangannya disajikan pada Tabel 1.
Pesatnya perkembangan produk pangan kaya serat membuat analis dituntut untuk melakukan analisa parameter kualitas secara cepat, akurat dengan presisi yang tinggi dan efisien. Ketiga hal ini pun pastinya bergantung pada metode yang hendak dipilih untuk analisa. Pemilihan metode ini tentunya tidak lepas dari karakteristik sampel, lingkungan laboratorium tempat uji dan ketersediaan alat.
Metode ini adalah metode yang paling umum digunakan oleh para pelaku industri makanan untuk menentukan kadar serat pangan pada produk jadi. Meski langkah kerja yang dilakukan tidaklah sedikit, namun metode ini cukup sederhana karena tidak memerlukan alat - alat yang canggih untuk melakukannya, sehingga cenderung lebih hemat biaya (cost). Metode ini merujuk pada AOAC 985.29 yang dipublikasikan pada Tahun 2000 silam. Metode ini berprinsip pada pengubahan serat dengan reaksi enzimatik dan penghilangan protein pada sampel yang selanjutnya dilakukan perbandingan bobot untuk menentukan total kadar serat yang sebenarnya.
Terdapat beberapa kondisi sampel yang perlu dipenuhi oleh analis sebelum memulai pengujian, yakni partikel sampel harus berukuran kecil ( +/- 0.3 - 0.5 mm), kering atau tidak mengandung kadar air yang tinggi serta kadar lemak yang tidak melebihi 10%. Oleh karena itu, sampel harus diberi perlakuan awal seperti proses milling, pemanasan atau pembekuan serta penyimpanan sampel dalam desikator serta penghilangan lemak dalam sampel yang disertasi dengan filtrasi/dekantasi. Dalam hal ini, milling berfungsi untuk meningkatkan luas permukaan tumbukan sehingga sampel dapat diuji dengan optimal. Perlu dijadikan catatan bahwa analis perlu mengetahui karakteristik sampel terhadap panas. Umumnya, sampel dapat dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC dalam semalam, namun jika sampel sensitif terhadap panas, maka sampel dapat dibekukan. Selain dari ketiga hal tersebut, pengkondisian pH juga diperlukan agar reaksi enzimatik dapat berlangsung optimal.
Enzim yang digunakan pada metode ini adalah α-amilase, protease dan amiloglukosidase yang berfungsi untuk mengubah serat menjadi bentuk monomer sederhananya, serta dibutuhkan juga enzim protease untuk menghilangkan zat - zat protein pada hasil destruksi sampel. Dibutuhkan pemanasan dan inkubasi berulang untuk mereaksikan enzim ini dengan sampel. Pada metode ini dibutuhkan beberapa proses inkubasi dengan suhu yang berbeda. Suhu 95 - 100oC dibutuhkan untuk mereaksikan sampel dengan enzim α-amilase dengan durasi +/- 15 menit, suhu 60oC dibutuhkan untuk mereaksikan enzim protease dengan hasil inkubasi sebelumnya selama +/- 30 menit dan hasilnya kemudian direaksikan dengan enzim amiloglukosidase. Hasil keseluruhan reaksi kemudian diendapkan dan difiltrasi dengan vakum filtrasi. Hasil filtrasi ini ini kemudian dipanaskan dan ditimbang, sehingga dapat dihitung total serat pangan dengan menggunakan rumus:
Perlu dicatat bahwa sebaiknya analis menyediakan sampel tambahan untuk pengecekkan jumlah protein pada sampel, sebagian hasil kemudian dapat diteruskan menggunakan metode pengujian protein seperti metode Kjeldahl.
Gambar 1. Contoh Rangkaian Alat untuk Metode Gravimetri Enzimatik
2. Metode Destruktif
Berbeda sedikit dengan metode Gravimetri - Enzimatik, metode ini mengadaptasikan metode Van Soest untuk penentuan kadar serat pangan. Perlakuan awal yang diterapkan pada sampel sebelum pengujian pun sama, yakni ukuran sampel yang perlu diperkecil, pengeringan kadar air dalam sampel serta penghilangan kadar lemak dalam sampel jika kadar lemak lebih dari 5%. Dengan metode ini, sampel yang telah memenuhi syarat kemudian direaksikan dan didestruksi dengan adanya penambahan beberapa enzim yakni α-amilase, protease dan amiloglukosidase. Hasil reaksi ini kemudian diendapkan sehingga terpisah fasa residu dan filtrat.
Residu hasil destruksi enzimatik ini kemudian dicuci dengan etanol dan aseton. Residu ini kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 130oC dan ditimbang bobotnya menggunakan neraca analitik ketika suhunya telah mencapai suhu kamar. Dalam hal ini, jenis wadah yang digunakan mungkin akan berbeda dari metode gravimetri - enzimatik. Meski sekilas metode ini tampak sama, namun keduanya menggunakan alat yang berbeda. Metode sebelumnya menggunakan sistem inkubasi pada suhu tinggi, sedangkan metode ini menggunakan alat ekstraksi serat yang juga dapat melangsungkan proses destruksi.
Gambar 2. Contoh Alat Ekstraksi untuk Metode Destruktif
Dari kedua metode yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki prinsip yang serupa namun menggunakan jalur yang berbeda. Pemilihan metode ini dapat disesuaikan dengan kebutuhan sampel yang hendak dianalisa. Keduanya dapat dijadikan referensi untuk pengujian serat pangan yang efisien dan optimal.
Referensi
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 2019. Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 tentang “Kategori Pangan”, https://jdih.pom.go.id/download/product/827/34/2019 diakses pada Tanggal 11 Oktober 2023
Badan Standardisasi Nasional. 2021. Standar Nasional Indonesia Nomor 4270 tentang “Serbuk Minuman Serealia” , https://akses-sni.bsn.go.id/viewsni/baca/8676 diakses pada 9 Oktober 2023
Dhingra, devinder., dkk. 2012. Dietary Fiber in Foods : A Review. J Food Sci Technol, Vol.49(3), Hal. 255–266
Mermelstein, Neil. H. 2011. Analyzing For Dietary Fiber, https://www.ift.org/news-and-publications/food-technology-magazine/issues/2011/july/columns/food-safety-and-quality diakses pada Tanggal 9 Oktober 2023
Rantika, Nopi dan Taofik Risdiana. 2018. Artikel Tinjauan : Penggunaan dan Pengembangan Dietary Fiber, Farmaka, Vol.16 (2), chrome-extension://efaidnbmnnnibpcajpcglclefindmkaj/https://jurnal.unpad.ac.id/farmaka/article/viewFile/17790/pdf diakses pada Tanggal 11 Oktober 2023