Produk komuditas perkebunan seperti teh, lada, sagu, dan lainnya merupakan andalan bagi pendapatan nasional dan devisa negara Indonesia. Oleh karena itu, mutu produk komuditas perkebunan tetap harus dijaga. Salah satu mutu yang umumnya diuji dalam komuditas perkebunan yaitu kandungan serat kasar (crude fiber). Metode Weende merupakan metode yang biasanya digunakan untuk pengujian serat kasar pada produk komuditas perkebunan. Dewasa ini, analis semakin dipermudah dengan penggunaan fiber analyzer yang mengadopsi metode Weende. Analis dapat menggunakan semi-automatic fiber analyzer ataupun automatic fiber analyzer. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas lebih detail terkait penggunaan metode Weende dalam pengujian serat pada produk komuditas Perkebunan.
Serat Kasar
Serat memang bukan senyawa gizi, namun peranannya sangat diperlukan dalam mendukung proses metabolisme di dalam tubuh karena kemampuannya dalam mengikat air, selulosa dan pektin. Serat akan membantu mempersingkat waktu transit sisa metabolisme pangan melalui saluran pencernaan untuk disekresikan keluar dalam bentuk feses. Tanpa bantuan serat yang mempunyai kemampuan mengikat air, feses akan relatif keras dan lebih lama melintasi usus untuk dapat diekskresikan keluar. Selain itu, kekurangan serat juga dapat mengakibatkan lambannya gerakan-gerakan peristaltik usus besar.
Serat kasar (crude fiber) adalah bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam atau basa kuat dan bersifat tidak larut dalam air. Komponen penyusun serat kasar diantaranya adalah lignin, seslulosa, dan hemiselulosa. Serat kasar merupakan komponen yang sangat penting dalam penilaian kualitas pangan karena akan menentukan nilai gizinya. Selain itu, kandungan serat kasar dapat digunakan untuk mengevaluasi suatu proses pengolahan, misalnya dalam proses penggilingan atau proses pemisahan antara kulit dan kotiledon dalam biji-bijian, persentase serat dapat dipakai untuk menentukan tingkat kemurniaan bahan atau efisiensi suatu proses.
Baku mutu serat kasar pada beberapa produk komuditas perkebunan dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Nama produk |
Syarat Mutu Kandungan serat (b/b) |
Referensi |
Teh hitam |
maks. 14 % |
SNI 1902:2016 |
Teh hijau |
maks. 16,5% |
SNI 3945:2016 |
Lada bubuk |
maks. 17,5% |
SNI 8433:2018 |
Pati sagu |
maks. 0,6% |
SNI 3729-2023 |
Analisis Serat Kasar (Crude Fiber) - Metode Weende
Pentingnya informasi gizi yang dicantumkan pada suatu produk pangan, mewajibkan pangan berserat juga menyertakan informasi kandungan serat, selain protein, lemak, kolesterol, karbohidrat, gula, vitamin dan/ atau kandungan gizi lainnya. Oleh karena itu, perlu diketahui jumlah serat kasar (crude fiber) yang dikandung dalam suatu produk pangan hasil perkebunan, hal ini dapat dilakukan dengan pengujian di laboratorium. Analisis serat kasar pada pangan hasil perkebunan dapat dilakukan dengan mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Association of Official Analytical Chemists (AOAC).
Serat kasar merupakan residu dari pangan setelah diperlakukan dengan asam dan alkali kuat encer dan mendidih, sehingga komponen karbohidrat, protein, dan zat-zat lain akan terhidrolisis dan larut. Setelah disaring dan dicuci dengan air panas yang mengandung asam dan alkohol, residu yang berupa serat kasar dapat dikeringkan dan ditimbang hingga bobot konstan.
Analisis kadar serat dilakukan dengan merujuk pada SNI 01-2891-1992 dengan mengadopsi metode Weende. Namun pada SNI instrumen yang digunakan masih konvensional yaitu dengan penggunaan corong Buchner yang dikoneksikan dengan pendingin tegak dan pompa vakum. Dalam kemajuan instrument analisis laboratorium, metode Weende dapat dilakukan dengan penggunaan fiber analyzer.
Adapun pengujian serat kasar dengan menggunakan fiber analyzer dengan metode Weende dilakukan dengan ditimbang terlebih dahulu sampel yang dicatat sebagai F0. Lalu sampel dimasukkan ke dalam fiber analyzer, lalu ditambahkan reagen asam sulfat (H2SO4) panas dan juga ditambahkan antifoam. Setelah itu analyzer diatur untuk melakukan pemanasan. Analyzer kemudian diatur untuk melakukan vacuum pada sampel. Kemudian dilakukan pencucian (washing) dengan menggunakan air deionisasi panas dan juga dilakukan pengocokan dengan penggunaan pressure pada analyzer. Setelah itu ditambahkan Natrium Hidroksida (NaOH) dan antifoam dan dipanaskan lagi. Setelah itu dilakukan pengulangan pencucian dengan menggunakan air deionisasi, lalu dicuci lagi dengan menggunakan aseton sambil dilakukan pengocokan. Kemudian wadah sampel dikeluarkan dari analyzer dan dikeringkan di dalam oven hingga mendapatkan berat konstan, dan biarkan di dalam desikator. Setelah itu dihitung berat residu sampel sebagai F1. Residu sampel kemudian di-abukan di dalam tanur dan didinginkan di dalam desikator. Kemudian residu sampel kemudian dihitung beratnya sebagai F2. Setelah ditimbang dan didapatkan beratnya, serat kasar dihitung berdasarkan rumus di bawah ini.
Adapun penggunaan fiber analyzer akan lebih menguntungkan bagi analis, seperti efisiensi waktu pengujian, keamanan analis, dapat melakukan pengujian dari lebih dari 1 sampel secara bersamaan, dan analis tidak perlu melakukan pemindahan sampel yang dapat mencegah kemungkinan pengurangan sampel selama pengujian berlangsung. Contoh fiber analyzer dapat dilihat pada Gambar 1.
Sebelum dilakukan pengujian serat kasar, ekstraksi lemak perlu dilakukan dengan menggunakan metode sokletasi atau dengan penggunaan fat extractor. Contoh extractor untuk ekstraksi lemak pada sampel yang akan diuji serat dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Fat Extractor dan Fiber Analyzer