Pengujian mikrobiologi klinis adalah pemeriksaan laboratorium yang bertujuan untuk mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Hasil pemeriksaan ini membantu dalam diagnosis penyakit, pemilihan pengobatan, dan pengendalian infeksi. Namun kebutuhan dalam pengujian mikrobiologi umumnya membutuhkan inkubator untuk menginkubasi sampel untuk melihat pertumbuhan sampel uji yang diinkubasi. Ada 4 jenis inkubator yang dapat digunakan dalam pengujian yang dapat disesuaikan dengan sampel yaitu bakteri, jamur, sel, virus dan oorganisme lainnya yang dapat diinkubasi pada inkubator universal, inkubator CO2, inkubator berpendingin dengan teknologi peltier dan inkubator berpendingin dengan teknologi compressor. Lalu apa yang membedakan masing-masing inkubator ini? Artikel ini akan membahasnya secara rinci.
Para ilmuwan dan analis pastinya familiar dengan alat inkubator. Namun dalam mengoptimalkan inkubasi yang dilakukan perlu diketahui bahwa ada beberapa jenis inkubator yang mempunyai fungsi dan penerapan berbeda berdasarkan sampel inkubasi. Mengapa? Inkubasi merupakan proses yang sangat penting dalam pengujian mikrobiologi, beberapa parameter sangat berdampak dalam pertumbuhan tersebut sehingga harus disupply secara konstan dan tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan inkubator yang tepat berdasarkan sampel inkubasi.
Beberapa parameter yang umumnya dapat terkontrol dengan penggunaan inkubator yaitu suhu, kelembaban, karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2). Dengan menyediakan kondisi lingkungan yang ideal, inkubator dapat mempercepat proses pertumbuhan dan perkembangan sampel yang diinkubasi. Ada empat jenis inkubator yang dapat digunakan dalam pengujian mikrobiologi klinis yang disesuaikan dengan sampel yang akan diinkubasi yaitu:
1. Inkubator Universal
Penggunaan inkubator universal digunakan pada aplikasi pengujian mikroba yang hanya membutuhkan pengontrolan suhu. Umumnya penggunaannya dalam pengujian bakteri aerob, kapang dan jamur. Dalam mikrobiologi Kesehatan, pengujian dengan menggunakan inkubator universal biasanya digunakan dalam pengujian seperti Staphylococcus aureus yang bersifat coagulase-positive dan merupakan patogen utama pada manusia. Pengujian Staphylococcus pada biakan agar darah dilakukan inkubasi selama 18 jam pada suhu 37 °C di dalam inkubator universal.
Selain Staphylococcus, kelompok Enterobacteriaceae juga dalam pengujiannya diinkubasi pada inkubator universal, kelompok ini terdiri dari beberapa galur E. coli dan Salmonella, Shigella dan Yersinia entercolitica yang secara primer menginfeksi saluran cerna sehingga mereka disebut kuman enterik. Penyakit rematik, Reiter's syndrome dapat didahului oleh paparan Salmonella, Shigella atau Yersinia. Bakteri lain yang bukan termasuk Enterobacteriacae yaitu Campylobacter dan Chlamydia juga menyebabkan Reiter's syndrome. Yersina pestis termasuk kuman zoonosis. Mayoritas kuman enterik yaitu Citrobacter, Enterobacter, Escherichia, Hafnia, Morganella, Providencia dan Serratia dapat menyebabkan infeksi oportunistik seperti septikemia, pneumonia, meningitis dan infeksi saluran kemih atau urinary tract infection (UTI).
2. Inkubator CO2
Inkubator CO2 dapat menyuplai beberapa parameter yang dibutuhkan selama inkubasi sampel dilakukan yaitu suhu, kelembaban (humidity), karbondioksida (CO2) dan Oksigen (O2). yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan inkubasi sampel. Penggunaan inkubator CO2 dapat digunakan dalam pengujian bakteri anaerob. Misalnya dilakukan pengujian bakteri Streptococcus pneumoniae salah satu penyebab utama pneumonia. Pengujian lainnya yang diinkubasi dengan inkubator CO2 yaitu pengujian Campylobacter jejuni. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Campylobacter jejuni adalah campylobacteriosis, yang merupakan penyebab wabah diare yang umum di Indonesia. Isolasi dalam pengujian C. jejuni memerlukan metode khusus yaitu ditumbuhkan pada 5% O2, 10% CO2, 85% N2 pada suhu 42°C.
Selain pengujian jenis bakteri, inkubator CO2 digunakan dalam kultur sel mamalia, kultur organ, inkubasi stem cell, dan kultur lainnya yang membutuhkan supply CO2 selama inkubasi dilakukan. Dalam kultur sel, fase gas merupakan hal penting yang perlu diperhatikan dalam mempersiapkan media pertumbuhan kultur. Komposisi utama gas adalah oksigen dan karbondioksida. Kebutuhan oksigen bagi kultur sel sangat bervariasi, terutama apabila dilakukan kultur sel dan kultur organ. Oksigen di atmosfer atau bahkan dengan tekanan oksigen yang rendah sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan kultur sel, sebaliknya kultur organ memerlukan fase oksigen sebesar 95% O2. Sedangkan untuk peran karbondioksida lebih kompleks dibandingkan dengan oksigen karena adanya kerja yang saling berkaitan antara CO2 terlarut, pH, dan konsentrasi HCO3-. Hampir semua media menggunakan konsentrasi bikarbonat dan tekanan CO2 untuk mencapai pH dan osmolalitas yang benar dan menstabilkan pH.
3. Inkubator berpendingin
Inkubator berpendingin merupakan inkubator yang digunakan untuk menginkubasi sampel yang membutuhkan suhu di bawah suhu ruang. Ada dua teknologi yang digunakan untuk inkubator berpendingin yaitu teknologi Peltier dan teknologi Compressor.
a. Inkubator berpendingin dengan teknologi Peltier
Teknologi Peltier pada inkubator berpendingin merupakan teknologi yang hemat energi dan sekaligus memiliki kualitas terbaik. Dibandingkan dengan peralatan sejenis, waktu pemanasan, pendinginan, dan pemulihannya dengan teknologi peltier jauh lebih singkat. Inkubator berpendingin dengan teknologi Peltier dapat menghemat biaya pengoperasian, memastikan kualitas sampel, dan membuat pekerjaan di laboratorium mikrobiologi jauh lebih efisien. Pengaplikasian inkubator berpendingin digunakan dalam analisis mikrobiologi, penentuan jumlah bakteri, budidaya yang dilakukan pada suhu di atas & di bawah suhu ruangan.
Penggunaan inkubator berpindingin dengan teknologi peltier sangat direkomendasikan untuk inkubasi sampel yang sensitif terhadap getaran dan membutuhkan suhu pemulihan yang cepat apabila melakukan pembukaan inkubator disaat inkubasi sedang berlangsung sehingga terjadi error suhu ataupun memengaruhi inkubasi sampel yang dilakukan.
b. Inkubator berpendingin dengan teknologi compressor
Selain teknologi peltier, inkubator berpendingin juga ada yang dilengkapi dengan teknologi compressor. Inkubator berpendingin dengan teknologi compressor memiliki kelebihan dapat mencapai suhu rendah hingga -12°C dan diperuntukkan untuk melakukan inkubasi dengan membutuhkan ruang yang besar dan dapat melakukan ramping suhu dengan cepat terjadinya perubahan suhu. Selain inkubasi, dengan ruang yang besar dimiliki oleh inkubator berpendingin dengan teknologi compressor memungkinkan digunakan untuk penyimpanan dalam waktu cepat dengan suhu konstan baik untuk suhu diatas dan dibawah suhu ruang. Selain itu, Penggunaan inkubator berpendingin dapat direkomendasikan untuk pengujian mikrobiologi dengan perlakuan variasi suhu.
Contoh inkubator universal, inkubator CO2, inkubator berpendingin dengan teknologi peltier dan inkubator berpendingin dengan teknologi compressor dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Contoh inkubator universal, inkubator CO2, inkubator berpendingin dengan teknologi peltier dan inkubator berpendingin dengan teknologi compressor.
Perbedaan sampel inkubasi dan parameter kebutuhan sampel, ilmuwan dan analis penting untuk memerhatikan inkubator yang tepat untuk digunakan. Hal ini guna dapat mengoptimalkan dan mengefisienkan pertumbuhan sampel yang diinkubasi.
Referensi:
Lestarie, E. Silvia; Yuli Astuti Hidayati; dan Wowon Juanda. 2016. Analisis Jumlah Bakteri Anaerob dan Proporsi Gas Metana pada Proses Pembentukan Biogas dari Feses Sapi Perah dalam Tabung Hungate. Jurnal Universitas Padjajaran. https://jurnal.unpad.ac.id/ejournal/article/view/9634
Sriwijaya University. 2012. Mikrobiologi Kedokteran Mikroorganisme. Sriwijaya University Repository. https://repository.unsri.ac.id/11136/2/Mikrobiol2012_OK.pdf diakses pada Jumat, 29 November 2024 Pukul 11:35 WIB
Tjampakasari, Conny Riana & Siti Kusmaryeni. 2021. Diagnosis, patogenesitas dan pemeriksaan Campylobacter jejuni. Ekotonia: Jurnal Penelitian Biologi, Botani, Zoologi dan Mikrobiologi. 2021. 06(1): 01-11